Jumat, 01 Mei 2009

Menambah jumlah investor domestik

Diskusi mengenai pasar modal begitu bersemangatnya sampe waktu pulang kuliah sudah tiba padahal masih banyak hal menarik bisa didiskusikan. Pertanyaan singkat yg memancing diskusi adalah apa tantangan kedepan bagi dunia investasi khususnya pasar modal? Ada yang menjawab sekuritasasi. Alasannya dengan menciptakan surat berharga baru yang lebih terjangkau, maka investor baru akan masuk. Good point.

Ada yang menjawab perlu edukasi, alasannya karena investor kurang mengetahui pasar modal itu apa, jadi mereka tidak berani berinvestasi. Semua jawaban itu benar adanya. Sayangnya semua sudah dilakukan oleh otoritas bursa, misalnya ada Kontrak Opsi Saham, Indeks LQ yang diperdagangkan, dan lainnya, dan baru-baru ini IDX membuat sekolah pasar modal gratis tis tis..bagi masyarakat yang minat.

Data terbaru dari sebuah perusahaan sekuritas menunjukan jumlah investor domestik kita tidak sampai 500.000 orang, dari 100-an juta penduduk yang produktif (bekerja dan berpenghasilan). Tidak perlu dibandingkan dengan Malaysia, apalagi Singapura, nanti malah tambah sedih :-(
Terbesit dalam diskusi, apakah kebijakan edukasi, dan sekuritasasi itu belum cukup. Poin lainnya mungkin diperlukan penegakan hukum yang lebih baik. ok good point juga, dan kita lihat buktinya, baru-baru ini saja (lihat press release BEI, 29 April 2009) sebuah sekuritas BUMN didenda oleh BEI karena melakukan pelanggaran dalam perdagangan reksadana. Kita salut juga dengan BEI dan BAPEPAM. Tapi sepertinya jalan keluar penegakan hukum sudah sering kita dengar, dan buktinya sampai saat ini belum mampu meningkatkan investor domestik kita, katakanlah menjadi 1 juta investor.

Apalagi yang kurang?
Mungkin ada yang terlewatkan selama ini. Disatu sisi otoritas sibuk menarik investor domestik untuk investasi, namun cari menariknya dari sisi pelaku pasar misalnya broker cenderung kurang tepat. Sedangkan investor domestik yang sudah bermain tidak dijaga dan diedukasi pula. Saya runtutkan dari sistem rekrutmen investor baru oleh sales sekuritas, sebagai contoh bila seorang broker akan menarik investor baru, biasanya yang diajarkan terlebih dahulu adalah analisis teknikal. Mungkin karena ini yang paling "mudah" dan tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut. Kalau ditanya mengapa kalau garis moving averagenya berpotongan kita jual atau beli? Broker mungkin dengan entengnya menjawab, ya memang begitu dari dulu, kalau motong artinya jual/beli, titik. end of story. Dibumbui sedikit dengan "gampang khan". Mungkin pula dijelaskan sedikit mengenai risiko, tapi dibumbui pula bahwa kalau analisis teknikalnya sesuai, ya risikonya rendah. Investorpun mencoba, dan nah ini, parahnya dengan pemahaman yang terbatas tadi investor kemudian investasi saham. Maka kita menemukan pasar yang seperti "bara dalam sekam", sedikit-sedikit panik, paranoid, dan lainnya (kasus redemption, indeks 2800 menjadi 1200-an, dll). Akhirnya investor yang rugi besar (mungkin karena panik tadi) keluar dari pasar dan tidak kembali lagi. KAPOK..dan secara tidak langsung, investor kita menjadi seorang trader dengan pola investasi jangka pendek dan bukan menjadi investor sebenarnya.
Bukan berarti saya menyepelekan teknikal analisis. Tetapi ada baiknya belajar dahulu fundamental analisis yang membuat investor menjadi seorang investor murni, dengan periode investasi jangka panjang. Lagian kalau investornya kapok, yang rugi sebenarnya juga brokernya karena fee menjadi berkurang.
Menduanya adalah kalau diajarkan fundamental analisis, kapan transaksinya, karena fundamental analisis sangat mendalam dan membutuhkan waktu yang cukup lama mempelajarinya.

Bagaimana kalau step-stepnya seperti ini bagi investor baru:
1. Jelaskan mengenai konsep dasar risk dan return dan sekaligus mengetahui profil risiko nasabah. Ada nasabah yang berhati-hati karena tidak tahu investasi, ada investor yang berani, juga karena tidak tahu investasi (ini yang gawat - tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu ).
2. investasi dulu di Reksadana Pendapatan Tetap atau reksadana pasar uang, risikonya secara umum lebih rendah dari saham. Saya yakin perusahaan sekuritas mempunyai asset management unit yang mempunyai reksadana pendapatan tetap atau pasar uang dan mampu mengelola reksadana dengan baik.
3. kalau sudah familiar, ya tergantung kesiapan investornya, mungkin bertahap investasi juga di reksadana saham.
4. selama tahap 1-3 investor secara kontinyu mendapatkan bahan-bahan fundamental analisis sederhana, misalnya konsep nilai intrinsik, analisis ekonomi, industri, dan lainnya.
5. berikan secara bertahap informasi analisis teknikal tanpa bermaksud menjadikan analisis ini sebagai acuan dasar.
6. siap bermain saham secara langsung dengan bantuan broker. Jangan melepas investor dengan transaksi on-line, karena mereka masih membutuhkan broker. Arahkan menggunakan analisis fundamental kemudian teknikal, dengan periode investasi yang cukup panjang, misalnya 2 tahun dengan transaksi setiap 2 bulanan hanya untuk ganti formasi portofolio (jual yang sudah kemahalan, beli yang sudah kemurahan).
Saya rasa bila pola ini dipakai, walaupun tidak instan (tapi menjerumuskan), akan secara konsisten meningkatkan jumlah investor domestik kita.

Bayangkan kalau investor domestiknya katakanlah ditahun 2010 menjadi 2juta orang. Dengan jumlah broker bersertifikasi di tahun 2007 saja baru sebanyak 4103 orang, maka masing-masing broker akan mempunyai 2juta/4103 = 487 client. Katakan setiap client bertransaksi 2 bulan sekali senilai Rp5juta, fee net (berdasarkan data fee rata-rata) misalkan Rp12000 maka 1 orang investor akan bertransaksi selama 1 tahun sebanyak 6, dikali 12000 = 72000. Dengan 487 investor, dikali 72000 sama dengan Rp35.064.000 per tahun (sebulan komisi = Rp2.922.000). kecil iya, lumayan juga iya, dan ini hitungan konservatif lho.

Cara lainnya? Nanti ditulisan selanjutnya....
Enjoy it... dan jangan lupa tanggapannya…
PS. Salah benar mohon dimaklumi...namanya juga belajar keuangan sederhana...

5 komentar:

Ipmawan Bachtiar mengatakan...

okeyh,info terbaruabout thiskasih twmamas iahdi,

www.ipmawan.co.cc

Lucky E. Santoso mengatakan...

Cara yang mungkin cukup jitu untuk menambah jumlah investor domestik adalah dengan menghalangi sampainya informasi ke para calon investor bahwa sebetulnya di Indonesia risiko yang harus ditanggung oleh investor bukan hanya risiko investasi, tetapi juga "risiko regulasi" yang tidak ada dalam pustaka keuangan standar: (http://www.detikfinance.com/read/2009/04/28/123922/1122597/479/menggugat-arti-risiko-investasi)

Putu Anom Mahadwartha mengatakan...

hehe...ide bagus pak Lucky...
tapi regulasi juga bisa didasarkan oleh teori keuangan lho, misalnya mengenai fraksi harga untuk mengurangi risiko fluktuasi harga. anyway, ya harus banyak berbenahlah. Informasi yang kurang kondusif harus dieliminasi, dan juga diketahui oleh investor...jadi ada simetri informasi. Jadi waktu ngambil keputusan investasi, mereka sudah aware adanya aturan yang kjrang kondusif tadi.

Dudi Anandya mengatakan...

Saya kira ada kesan pasar modal itu lebih dekat dengan spekulasi (klo dibilang gambling terlalu vulgar). Belum lagi kesan bahwa berinvestasi dipasar modal rumit dan butuh perhitungan yang njlimet. Saya kira edukasi perlu dilakukan sejak dini, supaya terbiasa melakukan investasi. Klo perlu bikin lagu anak tentang pasar modal (yang ada kan bang bing bung ayo menabung, padahal hasilnya pasti minus, kepotong biaya admin, klo saham masih ada kemungkinan rebound)

Putu Anom Mahadwartha mengatakan...

nah itulah mengapa kita di ubaya, dalam kurikulum khususnya keuangan tidak memasukan matakuliah mengenai teknikal analisis. Bukan apa2x sich, cuman kalo mahasiswa sdh diawal lsg dikenalkan teknikal,mereka akan menjadi semakin spekulatif, dan menganggap mudah (baca grafik),padahal lebih dari itu. Toh nanti teknikal akan mereka dapat di pelatihan, ataupun pada praktiknya. Sejalan dengan kurikulum sertifikasi juga tidak memasukan teknikal dalam materi sertifikasi.