Selasa, 21 Juli 2009

dampak bom pada ekonomi: masih bisa double digit??

Senin 20 Juli, wawancara di Elshinta, temanya dampak bom terhadap ekonomi. Apalagi yang meninggal salah satunya presdir Holchim. Disambung dengan, apakah masih bisa double digit kalau sdh dibom?

Kalau dampaknya, secara langsung dan cepat tidak akan terlihat dalam jangka pendek. Dan saya rasa dalam jangka panjang juga tidak akan terlalu banyak berdampak. Wong negara-negara lain juga kena krisis global, sehingga kontraksi ekonomi ada dimana-mana. Jadi tanpa bom atau dengan bom, tidak akan merubah terlalu banyak indikator ekonomi kita. Akan lain ceritanya bila tidak ada krisis global, mungkin dampaknya akan lebih buruk.

Kemudian mengenai double digit? ya tanpa bom aja kita tidak bisa double digit, terlalu naif kalau berpikir kita bisa tumbuh double digit padahal tempat kita jual barang (pasar ekspor) sedang tidak kondusif.
Sebagai tambahan, India dengan 35% PDB di reinvestasikan, bisa tumbuh "hanya" 8%. Kita dengan 25% PDB di reinvestasikan (data 2008), tumbuh 4% (asumsi APBN 4,3% - 4,8%). Jadi kalau mau tumbuh lebih dari 4%, ya harus lebih banyak reinvestasi, atau tambah dengan utang (tentunya utang denominasi $).
Cheers up...karena teroris tidak bisa menggoyang ekonomi kita, wong sudah duluan digoyang krisis sub-prime :-)

KAMI TIDAK TAKUT
INDONESIA UNITE

Selasa, 26 Mei 2009

Ketika Politik dan Ekonomi bertemu

Baru saja hadir di acara seminar BEI mengenai Politik dan Prospek Ekonomi dikaitkan dengan politik terutama Pilpres. Lumayan bagus paparan dari Eep Saifullah Fatah, dan menghibur.
Intinya mungkin selama ini kita di Indonesia sudah jenuh dengan politik yang itu itu juga loe lagi loe lagi..tapi bagi pasar modal, politik itu indikator yang penting juga dalam mengantisipasi pergerakan ekonomi makro. Lihat saja apa yang terjadi kalau subsidi BBM dihapuskan (SBY bilang akan memberikan insentif yang menarik bagi investor di bidang energi, waktu dia presentasi di kadin).
Apa itu berarti orang pasar modal harus belajar politik, takutnya malah bukan jadi investor malah jadi caleg..jee..
Menurut saya, sebaiknya kita di pasar modal cukup memahami kebijakan ekonomi yang akan diambil rezim berkuasa nantinya. semakin sedikit indikator diluar ekonomi, seharusnya analisisnya jadi semakin tajam. Terlalu banyak indikator diluar ekonomi dan pasar modal yang digunakan, ujung-ujungnya tidak jelas mau ngapain. Saking bingungnya... :-)
Ada satu hal yang menarik lagi, bahwa menurut Eep, siapapun yang berkuasa, arah ekonomi kita tidak akan terlalu banyak berubah. Alasannya karena para capres itu berpenyakit plin plan. kalo dengan kalangan pasar modal mungkin akan bilang memberikan seluas-luasnya kesempatan investasi termasuk bagi asing. Besoknya kalo didepan petani bilang akan memproteksi petani dari bahan pangan impor. Prabowo bilang jangan jual BUMN, Mega jual BUMN, hehee...ini yang paling saya ingat. Ada benarnya juga, namun kalo saya melihat stabilitas maka sebaiknya tentu memilih capres yang memberikan stabilitas politik, sehingga menjamin stabilitas kebijakan ekonomi misalnya kebijakan ekonomi tidak terkendala di DPR, tidak diobok-obok demi kepentingan golongan, dll. Salam contreng..

Jumat, 01 Mei 2009

Menambah jumlah investor domestik

Diskusi mengenai pasar modal begitu bersemangatnya sampe waktu pulang kuliah sudah tiba padahal masih banyak hal menarik bisa didiskusikan. Pertanyaan singkat yg memancing diskusi adalah apa tantangan kedepan bagi dunia investasi khususnya pasar modal? Ada yang menjawab sekuritasasi. Alasannya dengan menciptakan surat berharga baru yang lebih terjangkau, maka investor baru akan masuk. Good point.

Ada yang menjawab perlu edukasi, alasannya karena investor kurang mengetahui pasar modal itu apa, jadi mereka tidak berani berinvestasi. Semua jawaban itu benar adanya. Sayangnya semua sudah dilakukan oleh otoritas bursa, misalnya ada Kontrak Opsi Saham, Indeks LQ yang diperdagangkan, dan lainnya, dan baru-baru ini IDX membuat sekolah pasar modal gratis tis tis..bagi masyarakat yang minat.

Data terbaru dari sebuah perusahaan sekuritas menunjukan jumlah investor domestik kita tidak sampai 500.000 orang, dari 100-an juta penduduk yang produktif (bekerja dan berpenghasilan). Tidak perlu dibandingkan dengan Malaysia, apalagi Singapura, nanti malah tambah sedih :-(
Terbesit dalam diskusi, apakah kebijakan edukasi, dan sekuritasasi itu belum cukup. Poin lainnya mungkin diperlukan penegakan hukum yang lebih baik. ok good point juga, dan kita lihat buktinya, baru-baru ini saja (lihat press release BEI, 29 April 2009) sebuah sekuritas BUMN didenda oleh BEI karena melakukan pelanggaran dalam perdagangan reksadana. Kita salut juga dengan BEI dan BAPEPAM. Tapi sepertinya jalan keluar penegakan hukum sudah sering kita dengar, dan buktinya sampai saat ini belum mampu meningkatkan investor domestik kita, katakanlah menjadi 1 juta investor.

Apalagi yang kurang?
Mungkin ada yang terlewatkan selama ini. Disatu sisi otoritas sibuk menarik investor domestik untuk investasi, namun cari menariknya dari sisi pelaku pasar misalnya broker cenderung kurang tepat. Sedangkan investor domestik yang sudah bermain tidak dijaga dan diedukasi pula. Saya runtutkan dari sistem rekrutmen investor baru oleh sales sekuritas, sebagai contoh bila seorang broker akan menarik investor baru, biasanya yang diajarkan terlebih dahulu adalah analisis teknikal. Mungkin karena ini yang paling "mudah" dan tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut. Kalau ditanya mengapa kalau garis moving averagenya berpotongan kita jual atau beli? Broker mungkin dengan entengnya menjawab, ya memang begitu dari dulu, kalau motong artinya jual/beli, titik. end of story. Dibumbui sedikit dengan "gampang khan". Mungkin pula dijelaskan sedikit mengenai risiko, tapi dibumbui pula bahwa kalau analisis teknikalnya sesuai, ya risikonya rendah. Investorpun mencoba, dan nah ini, parahnya dengan pemahaman yang terbatas tadi investor kemudian investasi saham. Maka kita menemukan pasar yang seperti "bara dalam sekam", sedikit-sedikit panik, paranoid, dan lainnya (kasus redemption, indeks 2800 menjadi 1200-an, dll). Akhirnya investor yang rugi besar (mungkin karena panik tadi) keluar dari pasar dan tidak kembali lagi. KAPOK..dan secara tidak langsung, investor kita menjadi seorang trader dengan pola investasi jangka pendek dan bukan menjadi investor sebenarnya.
Bukan berarti saya menyepelekan teknikal analisis. Tetapi ada baiknya belajar dahulu fundamental analisis yang membuat investor menjadi seorang investor murni, dengan periode investasi jangka panjang. Lagian kalau investornya kapok, yang rugi sebenarnya juga brokernya karena fee menjadi berkurang.
Menduanya adalah kalau diajarkan fundamental analisis, kapan transaksinya, karena fundamental analisis sangat mendalam dan membutuhkan waktu yang cukup lama mempelajarinya.

Bagaimana kalau step-stepnya seperti ini bagi investor baru:
1. Jelaskan mengenai konsep dasar risk dan return dan sekaligus mengetahui profil risiko nasabah. Ada nasabah yang berhati-hati karena tidak tahu investasi, ada investor yang berani, juga karena tidak tahu investasi (ini yang gawat - tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu ).
2. investasi dulu di Reksadana Pendapatan Tetap atau reksadana pasar uang, risikonya secara umum lebih rendah dari saham. Saya yakin perusahaan sekuritas mempunyai asset management unit yang mempunyai reksadana pendapatan tetap atau pasar uang dan mampu mengelola reksadana dengan baik.
3. kalau sudah familiar, ya tergantung kesiapan investornya, mungkin bertahap investasi juga di reksadana saham.
4. selama tahap 1-3 investor secara kontinyu mendapatkan bahan-bahan fundamental analisis sederhana, misalnya konsep nilai intrinsik, analisis ekonomi, industri, dan lainnya.
5. berikan secara bertahap informasi analisis teknikal tanpa bermaksud menjadikan analisis ini sebagai acuan dasar.
6. siap bermain saham secara langsung dengan bantuan broker. Jangan melepas investor dengan transaksi on-line, karena mereka masih membutuhkan broker. Arahkan menggunakan analisis fundamental kemudian teknikal, dengan periode investasi yang cukup panjang, misalnya 2 tahun dengan transaksi setiap 2 bulanan hanya untuk ganti formasi portofolio (jual yang sudah kemahalan, beli yang sudah kemurahan).
Saya rasa bila pola ini dipakai, walaupun tidak instan (tapi menjerumuskan), akan secara konsisten meningkatkan jumlah investor domestik kita.

Bayangkan kalau investor domestiknya katakanlah ditahun 2010 menjadi 2juta orang. Dengan jumlah broker bersertifikasi di tahun 2007 saja baru sebanyak 4103 orang, maka masing-masing broker akan mempunyai 2juta/4103 = 487 client. Katakan setiap client bertransaksi 2 bulan sekali senilai Rp5juta, fee net (berdasarkan data fee rata-rata) misalkan Rp12000 maka 1 orang investor akan bertransaksi selama 1 tahun sebanyak 6, dikali 12000 = 72000. Dengan 487 investor, dikali 72000 sama dengan Rp35.064.000 per tahun (sebulan komisi = Rp2.922.000). kecil iya, lumayan juga iya, dan ini hitungan konservatif lho.

Cara lainnya? Nanti ditulisan selanjutnya....
Enjoy it... dan jangan lupa tanggapannya…
PS. Salah benar mohon dimaklumi...namanya juga belajar keuangan sederhana...

Minggu, 08 Maret 2009

Prinsip opportunity cost dalam keuangan personal

Selama ini masyarakat awam jarang sekali mendengar istilah opportunity cost. Apapula itu biaya kesempatan? (saya ngga tau apakah terjemahannya benar). Opportunity cost bisa juga diterapkan untuk benefit atau revenue. Dalam keuangan, opportunity cost (singkat aja OC), adalah biaya yg seolah-olah kita keluarkan dan kita perhitungkan bila kita memilih suatu pilihan dengan mengorbankan pilihan lainnya. Susah ya bahasanya. Kita contohkan yang sederhana saja, dalam prinsip pengelolaan uang personal, atau personal finance. Misalnya anda memutuskan untuk membeli mobil. Ada pilihan mobil A dan B, tentu saja dengan desain yang berbeda, namun dengan spesifikasi yang sama, layanan purna jual yang sama (jumlah, service,dll), harga onderdil relatif sama. Keduanya adalah mobil sedan kompak (1500cc). Mobil A harganya 150juta, mobil B harganya 180juta. Karena konsumen Indonesia sangat unik, maka biasanya juga melihat nilai jual kembali (resale value), walaupun kita tahu bahwa membeli mobil untuk dipakai, bukan untuk dijual kembali:-)
Katakanlah mobil A resale value setelah 3 tahun pakai kira-kira 70juta, dan Mobil B resale value adalah 120juta. Bagi pasar mobil ternyata mobil B dipersepsikan lebih tinggi dari sisi kualitas, kenyamanan, dan lainnya. Maklum, khan konsumen Indonesia, padahal jelas-jelas spesifikasinya sama. Disini prinsip OC bisa diterapkan.
Bila tidak menggunakan OC maka tentunya kita akan memilih mobil B yang dibeli dengan 180juta dan bisa dijual kembali 120juta, jadi kita hanya seolah-olah mengeluarkan ongkos 60juta untuk mobil yang dipakai selama 3 tahun (per tahun 20juta). Dibandingkan dengan mobil A, dengan harga beli 150juta, dan dijual kembali 70juta, maka kita seolah-olah terbebani ongkos 80 juta untuk 3 tahun (26,9juta/th).
Karena kita menerapkan prinsip OC maka perhitungan menjadi sbb:
Bila kita memilih mobil A, maka kita sebenarnya sudah mendapatkan keuntungan sebesar 30juta. mengapa? karena daripada membeli mobil B dengan spesifikasi yang sama dengan mobil A, dengan harga yang lebih mahal 30juta. Artinya lagi, barangnya sama namun uang yang kita keluarkan lebih sedikit 30juta. Inilah OC berupa gain (keuntungan) atas memilih mobil A. Bila kemudian mobil A kita jual 3 tahun kemudian seharga 70juta ditambahkan 30juta keuntungan dari OC diawal karena memilih mobil A, maka keuntungan total kita menjadi 100juta. Artinya selama menggunakan selama 3 tahun kita hanya mengeluarkan uang 50juta (beli 150jt-(jual 70jt+OC 30juta))=50juta atau sekitar 16,9juta/tahun).
Sedangkan bila kita membeli mobil B, maka berdasarkan OC kita sudah menanggung cost diawal 30juta, kemudian dijual seharga 120juta, maka total nilai jual hanyalah 120juta-30juta=90juta. Sehingga bila membeli mobil B seharga 180juta-90juta=90juta selama 3 tahun (30juta/tahun).
Maka dikatakan bahwa mobil A lebih mempunyai "value for money" dibandingkan mobil B.
Tentu saja disini kita menyederhanakan dengan tidak menghitung nilai waktu uang, dan pilihan berdasarkan aspek-aspek perilaku konsumen dalam pemasaran, dan juga tidak mempertimbangkan angsuran per bulan (bila membeli secara kredit), service rutin, pajak kendaraan.
Selanjutnya pilihan tetap pada konsumen khan, saya khan hanya bantu lihat dari sisi keuangannya.
Salam keuangan personal

Sabtu, 28 Februari 2009

saat akumulasi kecemasan berbalik menjadi optimisme (dalam mimpi)

wah ngga terasa sudah hampir 1 tahun pasar modal kita mengalami masa-masa kecemasan dan keraguan. Minggu lalu tiba-tiba saja ada wartawan dari Kabarbisnis.com yang menelepon, dan minta penjelasan mengenai investasi riil maupun pasar modal. Saya pikir kesempatan baik juga untuk menceritakan proposisi saya mengenai akumulasi kecemasan. Dalam behaviour finance, masalah utama untuk memprediksi prilaku yang mulai berubah (misal dari bersemangat menjadi lesu, atau sebaliknya) adalah mengindikasi kapan terjadi akumulasi prilaku yang nantinya mampu merubah kognisi seorang seseorang. Nah saya ada proposisi, mungkin bisa di teliti. Melihat perkembangan pasar saat ini dimulai januari 2008 sampai saat ini. Lihat gambar dibawah.



Terlihat bahwa penurunan IHSG cukup signifikan menyeret para investor untuk takut akan pasar modal. Hi...data speak for themself.. ;-) Pola penurunan terjadi dari awal tahun sampai dengan pertengahan Nopember. Diikuti oleh akumulasi kecemasan maka pertengahan bulan nopember sampai saat ini dimulailah masa kecemasan dan keraguan. Lihat saja pergerakan indeks yang naik turun naik turun, tidak ada trend yang dibentuk pasar.
Penurunan indeks ini kemungkinan adalah saat bagi investor jangka panjang untuk menjauhi pasar modal sementara waktu, dan bagi investor jangka pendek untuk menyerbu dengan analisis teknikal yang mumpuni, dengan harapan mampu memperoleh gain.
Pertanyaannya, sampai kapan pasar seperti ini? Proposisi saya mencoba menjawabnya. Coba lihat gambar yang berikut dibawah ini:



Gambar diatas menunjukan pola jangka pendek dari awal tahun 2009 sampai dengan saat ini akhir februari. Melihat pola penurunan yang terjadi, dan indikasi informasi pasar di media massa yang masih menyoroti mengenai "question mark" stimulus ekonomi, maka saya tidak yakin bahwa akumulasi kecemasan akan berbalik menjadi optimisme paling tidak sampai akhir semester pertama tahun ini.

Jadi bagi investor jangka panjang, liriklah aset keuangan lain yg cukup juicy seperti suku ORI, dkk. Bagi investor jangka pendek, keep your speculation spirit supaya pada akhirnya ada akumulasi optimisme yang tinggi untuk menggerakan trend bullish (hope so..).
Itu proposisi saya, moga aja ada yang mau meneliti, dan membentuk model prediksinya.
Salam investasi

Kamis, 12 Februari 2009

Tips Murah Meriah Kartu Kredit

Susah mengendalikan menggesek kartu kredit? saya ada 1 tips yang bisa dicoba, sapa tau menyukainya. Bila akan belanja dgn kartu kredit maka harus memperhatikan tanggal terakhir pencatatan transaksi kartu kredit. Biasanya ada di form laporan tagihan bulanan. Misalnya tanggal terakhir pencatatan 5 setiap bulannya dengan batas jatuh tempo pembayaran 21 setiap bulannya. Maka sebaiknya belanjalah setelah tanggal terakhir tersebut. Contohnya anda belanja tanggal 6 Februari 2009, maka belanja ini tidak akan ditagih di tanggal 21 Februari namun tagihannya baru akan muncul di tanggal 21 Maret 2009. Bayangkan aja, anda bisa meminjam uang bank, tanpa bunga selama 45 hari (6 Feb sampai 21 Feb). Lumayan khan...

January effect lagi

Beberapa waktu yang lalu saya menulis bahwa january effect tidak akan terjadi tahun ini (2009). Dan kalo dilihat memang tidak terjadi january effect walaupun saya sebut sebagai hal ini masih proposisi. Dalam kondisi sideways seperti ini maka january effect akan sulit terjadi. Tidak seperti tahun lalu, dimana IHSG sempat turun drastis di tanggal 22 Januari 2009. Hal ini masih bisa diuji dengan secara ilmiah, yah namanya juga blog easy finance, jadi dibuat easy aja dulu. Nah yang terjadi saat ini adalah pola keraguan yang cukup besar dari pelaku pasar modal, sehingga diantara keraguan itu terbersit ketakutan akan kehilangan kekayaan, kekecewaan akan kerugian masa lalu, dan keterpanaan karena merasa keputusan investasi yang sudah dilakukannya salah. Jadi dalam kondisi tersebut, sebagai mahluk yang risk averse (selalu menghindari risiko) sangat sulit bagi investor untuk mengambil keputusan investasi. Argumen ini diperkuat oleh volum transaksi yang rendah hampir selama Januari, dan kemungkinan masih dilanjutkan di 1-2 bulan kedepan. Namun ini belum teruji lho, maka monggo silakeen di uji dengan pendekatan ilmiah sehingga argumennya bisa terbukti atau ditolak. Salam investasi

Senin, 26 Januari 2009

Hidup Skema Ponzi..!!

Saat perkuliahan, saya dan mahasiswa membahas mengenai skema ponzi. Skema ponzi sebenarnya termasuk primitive yang ditemukan oleh charles ponzi pada 1928 (kalo saya ngga salah,bila salah maaf). Yang kami bahas cukup menarik yaitu pertanyaan mengapa skema ponzi yang berusia hampir 72 tahun,masih saja tokcer utk menipu investor,contohnya kasus madoof. Madoof menipu investor dengan nilai yang cukup fantastis, hampir 56milyar dollar and still counting. Di Indonesia skema ponzi juga sudah banyak memakan korban, misalnya arisan bahan pokok di bandung, atau qisar, dll.
Sedikit penjelasan mengenai skema ponzi, bahwa model penipuan ini berjanji akan memberikan tingkat keuntungan yang tinggi, lebih tinggi dari rata-rata return pasar modal. Darimana tingkat return yang tinggi itu? Nah rahasianya adalah tingkat return tersebut diambilkan dari investor baru,yang baru saja menanamkan uangnya di perusahaan penipu ini. Hal ini akhirnya akan membentuk suatu piramida yang bagian atas adalah investor lama, dan bagian bawah dan seterusnya adalah investor baru, demikian seterusnya, sampai tidak ada lagi investor baru yang masuk dan piramidapun kolaps.
Diskusi kami sampai pada suatu titik temu, bahwa tingkat edukasi investor khususnya pada bidang keuangan tidak berarti apa-apa bila investor dalam kondisi panik atau tidak rasional. Lihat saja para investor madoof,kurang apa coba, selain kaya, banyak diantara mereka adalah investor bangkotan dipasar modal,sudah malang melintang di dunia persilatan pasar modal ini.
Kondisi kepanikan, menyebabkan investor bertindak irrasional sehingga tidak mampu mengambil keputusan investasi. Kepanikan muncul tentu disebabkan oleh ketakutan akan kehilangan kekayaan, apalagi ketakutan itu datang secara mendadak, dan tidak ada antisipasi sebelumnya. Inilah dalam behavioral finance disebut shifting dari kognisi yang sebelumnya selaras (konsonan) menjadi kognisi yang tidak selaras (dissonan). Walaupun dalam diskusi kami dikelas, belum sempat membahas adanya dukungan empirik dari argumentasi ini, namun tidak menutup kemungkinan utk diteliti dikemudian hari. Apalagi utk pasar modal Indonesia yang investornya belum teredukasi dengan baik. Belum lagi bila membahas adanya keserakahan (greed) dalam diri manusia yang menyebabkan kita sering kehilangan akal sehat dan mengejar return setinggi langit yang sebenarnya mimpi. Jadi, adakah yang mau menguji argumen kami ini?
Selama investor panik dan serakah, maka Hidup Skema Ponzi…!!

Senin, 05 Januari 2009

January Effect

Happy Good Year 2009 untuk semua

Bulan Januari selalu menjadi bulan optimis di pasar modal, itu biasanya lho. Namun hati-hati dengan January Effect. Biasanya (tidak setiap Januari), harga saham terutama yang menggerakan pasar, akan turun secara signifikan, dan menyebabkan indeks tertekan lebih dalam. Sedangkan saham-saham lapis dua akan anteng dan adem ayem saja. Apa penyebabnya? nah ini kita bahas lain waktu aja ya.

anyway...Januari 2008, penurunan yang tajam terjadi pada tanggal 22 Januari, yang cukup mengejutkan karena biasanya Januari efek terjadi di tanggal pertengahan bulan antara 12-18 Januari.
Ya kalo tahun ini, saya kok ragu ya bakalan ada Januari efek, wong semua saham juga sudah rendah harganya, mau turun ke berapa lagi coba..??
Jadi stay cool aja, saya rasa efek Januari tidak akan cukup besar.
Cheers and enjoy it